26.12.10

Behind the Mirror 1

.
Summary: Apa kau tahu apa yang ada di balik cermin? Ketika kau tahu, bisakah kau mengingkarinya? CHAPTER I: INTRODUCTION: …kami hanyalah anak-anak biasa yang berharap bisa mengubah diri kami…
Disclaimer: Vocaloid belongs to Yamaha Corp.
.
BEHIND THE MIRROR
.
.
Aku ingin menjadi lebih kuat!
Aku ingin menjadi lebih hebat!
Aku ingin bisa melindungi orang-orang yang kusayangi!
Aku ingin dunia melihatku!
.
Murasaki Sakura Presents:
BEHIND THE MIRROR
CHAPTER I: INTRODUCTION
kami hanyalah anak-anak biasa yang berharap bisa mengubah diri kami
.
Angin berhembus lembut membuat daun bergemerisik sekaligus membawa berbagai aroma yang nikmat. Aroma embun, aroma roti panggang, aroma sabun, dan aroma telur. Seorang gadis remaja berambut pirang tengah asik memainkan telur-telur di atas sebuah wajan dengan spatula kayu. Gadis itu menyenandungkan lagu riang sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Seiring dengan goyangan kepalanya, rambut pirangnya yang dikucir tinggi di samping pun ikut bergoyang.
“Ima ugoki hajimeta kasokusuru kiseki… Nanana nananana tomaranai… Nanananana,” gadis itu menyenandungkan lagunya
“Pagi, Neru,” sapa sebuah suara malas yang sukses membuat gadis pirang berkucir satu itu sedikit terlonjak
“Len! Lagi-lagi kau mengagetkanku!” gadis pirang bernama Neru itu berkata pada sepupu laki-lakinya yang bernama Len. Sedangkan, si lawan bicara hanya menggaruk-garuk rambut jabriknya yang berwarna pirang dengan malas.
“Rin belum bangun?” tanya Len yang masih setengah tertidur
“Belum.” Neru menggeleng
“Hmmm…” Kemudian dengan langkah malas, Len beranjak ke kamar mandi untuk mencuci mukanya.
Tapi, baru juga akan memutar knop pintu, seseorang sudah membukanya dari sisi lain. Setelah pintu terbuka sepenuhnya, Len dapat melihat seorang gadis remaja seumurannya sedang tersenyum ke arahnya. Rambut gadis itu pirang, sama dengannya. Matanya pun sebiru sapphire, sama dengannya. Ya, itu adalah kembaran Len, Rin. Yang membedakan mereka berdua hanyalah gender dan gaya rambut mereka. Rambut Len jabrik tapi dikucir di bagian belakang, sementara rambut Rin pendek sebahu dan selalu dihiasi bando putih berpita yang telah menjadi ciri khasnya.
“Pagi, Len!” sapa Rin dengan senyum terkembang di wajahnya
“Pagi, Rin…” balas Len malas
“Tadi kudengar ada yang memasak di dapur. Kupikir itu kau.” kata Rin santai
“Hn? Bukan. Yang masak itu Neru…” sahut Len sambil mengucek matanya yang terasa berat
Mereka berdua terdiam. Lalu tiba-tiba tersentak.
“NERU!” seru mereka bersamaan sebelum melesat ke dapur.
Sedangkan gadis yang dimaksud masih asik dengan nyanyian—ehm—maksudnya telur orak-ariknya. “Sono hitomi no naka nanana nanana… Kore ga watashi no nozonda kokoro… Lalalala…” sekarang suara si pirang berkucir satu itu sudah semakin keras. Dia pun sepertinya semakin terhanyut ke dalam lagu yang dinyanyikannya dan semakin melupakan telur orak-arik yang sudah mulai menghitam di wajannya.
“NERU!” seru si kembar Kagamine. Si pemilik nama pun sontak melemparkan wajan yang ada di tangannya ke sembarang arah dan membuat telur orak-arik gosong yang berada di atasnya ikut terlempar dan berhamburan kemana-mana.
“Aaaaah!” seru Len
“Neruuuuu… Itu kan telur terakhir kita!” geram Rin
“H-hei! Ini kan salah kalian! Siapa suruh kalian mengagetkan aku?” seru Neru. Rin menunjuk serpihan telur orak-arik yang mendarat di dekat kakinya.
“Meskipun kau tidak melemparkan wajanmu, kami tetap tidak akan bisa makan telur orak-arik pagi ini! Bahkan telurnya gosong!” kata Rin dengan nada menuduh
 “Aku kan hanya mencoba membantu Len… Tadi kulihat dia masih tidur dengan nyenyak. Kurasa Len kecapekan karena kemarin membantu Dell membereskan kebunnya,” kata Neru dengan suara kecil
“Sudah berapa kali kubilang sih? Yang masak itu cukup Len saja! Aku tidak mau sakit perut karena makananmu!” sahut Rin dengan pedas
“Sudahlah, toh kita masih punya roti, kan?” lerai Len sambil menepuk pundak Rin
“Huh!” Rin membalikkan badannya dan berjalan ke kamarnya meninggalkan Neru dan Len yang hanya menatap punggung gadis berbando itu
“Maaf ya, Neru. Aku tahu maksudmu baik, tapi biar aku saja yang memasak.” Len tersenyum pada Neru
“Iya… Tapi kan…”
“Kau bisa membantuku untuk pekerjaan yang lain,” potong Len cepat. Mendengarnya, Neru hanya mengangguk.
“Nah, sekarang, bisa tolong bersihkan telur-telur ini? Aku mau mengganti piyamaku dulu.” pinta Len. Neru mengangguk sekali lagi dan beranjak mengambil sapu.
.
.
Beberapa menit kemudian, Len turun dari kamarnya dan berjalan menuju dapur dengan baju sehari-harinya, sebuah kemeja putih berlengan panjang dilipat sampai siku dan celana hitam selutut ditambah dengan ikat pinggang berwarna kuning serta suspender berwarna hitam. Rambut jabriknya sekarang sudah diikat rapi seperti biasanya dan wajahnya sudah terlihat lebih segar.
Sesampainya di dapur, Len langsung bisa mendengar suara Neru yang sedang bersenandung dan suara sapu yang bergesekan dengan lantai kayu. Len mengambil beberapa lembar roti, lalu memasukkan dua diantaranya ke mesin pemanggang roti. Lalu mengambil sebuah mug berwarna cokelat dengan motif garis-garis dan berjalan menghampiri kulkas. Setelah itu, dia mengambil sebotol susu dingin dari kulkas dan menuangkannya ke mug garis-garisnya.
TING!
Terdengar suara ‘ting’ dari mesin pemanggang roti. Len langsung mengambil roti yang ada di mesin itu dan menggantinya dengan roti yang lain. Lalu dia membuka lemari yang berisi piring dan mengeluarkan sebuah piring yang berukuran cukup besar, kemudian meletakkan roti yang sudah dipanggang di atas piring itu. Sambil menunggu roti selesai dipanggang, Len duduk di kursi dan meminum susu dinginnya.
“Neru,” panggil Len
“Ya?” sahut Neru tanpa menghentikan gerakan sapunya
“Kak Luka bilang hari ini kau harus datang ke toko bunganya.” kata Len
“Hee? Ada apa memangnya?” Neru menghentikan gerakan sapunya dan menatap Len
“Tidak tahu. Katanya sih membicarakan tentang Gumi. Memang Gumi itu siapa?” tanya Len
“Oh!” Neru menjentikkan jarinya. Len hanya menatap sepupunya dengan tatapan bingung
“Itu, Gumi keponakannya pemilik toko buah yang ada di dekat toko bunganya Luka.” terang Neru
“Oooh yang rambutnya hijau itu?” tanya Len lagi
“Iya,” Neru mengangguk sebelum kembali menyapu
“Memangnya si Gumi itu kenapa?” tanya Rin yang tiba-tiba sudah berada di belakang Len
“Rin!” seru Neru kaget
“Apa?” sahut Rin. Neru menggeleng
“Jadi, si Gumi itu kenapa?” ulang Rin
“Minggu depan dia ulang tahun, jadi aku, Luka, dan Teto mau memberinya kado.” jelas Neru
“Jadi kalian mau diskusi, ya?” tanya Len
“Yah, bisa dibilang begitu.” Neru mengangguk
TING!
Sekali lagi suara ‘ting’ terdengar dari mesin pemanggang roti, dan sekali lagi juga Len mengambil roti yang telah dipanggang dan menukarnya dengan roti yang belum dipanggang. Len kembali menyimpan roti yang sudah dipanggang itu di atas piring tadi. Rin sudah duduk di sebelah kursi yang tadi didudukinya, sedangkan Neru baru saja menyimpan sapunya di dekat kulkas dan akan mengambil tempat duduk di depan Rin. Len segera duduk kembali di kursinya dan menopangkan dagunya ke tangannya.
“Sepertinya hari ini aku harus belanja bahan makanan,” kata Len
“Setuju!” seru Rin sambil mengacungkan tangannya, “Nanti aku ikut ya?” imbuh gadis berbando itu
“Memang kalian tidak ada acara?” tanya Neru. Si kembar menggeleng berbarengan
“Bukannya kalian ada janji dengan Nona Miku?” tanya Neru
“Oh iya! Lupa!” seru Rin sambil menepuk dahinya yang tertutup poni
“Terima kasih sudah mengingatkan. Ngomong-ngomong kamu tahu dari mana?”
“Kemarin aku bertemu dengan Kaito di perpustakaan. Dia bilang kalian ada janji dengan Nona Miku, jadi lebih baik aku mengingatkan kalian supaya kalian tidak lupa. Tapi ternyata aku juga lupa mengingatkan kalian kemarin,” jawab Neru
“Sudahlah, tapi kau kan tetap mengingatkan kami. Terima kasih ya, Neru.” kata Len
“Ah, iya, sama-sama,” kata Neru sambil tersenyum pada si kembar.
TING!
Untuk ketiga kalinya, suara ‘ting’ dari mesin pemanggang roti kembali terdengar. Dan untuk ketiga kalinya juga Len mengambil roti-roti itu dan menaruhnya di atas piring yang sudah berisi empat buah roti panggang. Tapi kali ini Len tidak meletakkan roti lagi di mesin pemanggang roti, ternyata enam lembar roti sudah cukup untuk mereka bertiga.
Len membawa piring yang penuh dengan roti panggang itu ke atas meja makan. Dengan cepat Rin berdiri dan berjalan ke meja dapur mereka untuk mengambil sebotol madu, sebotol selai cokelat, dan pengoles roti. Setelah menaruh madu, selai cokelat, dan pengoles roti di atas meja, Rin mengambil sebuah mug berwarna orange dengan motif spiral berwarna kuning. Lalu diambilnya susu dari kulkas, dan dituangkannya ke dalam mung bermotif spiralnya. Setelah mugnya penuh, Rin menaruh mugnya di meja makan dan duduk di kursinya. Mereka bertiga pun memakan sarapan mereka sambil mengobrol dan sesekali bercanda.
.
.
Rin dan Len sedang berjalan ke arah sebuah puri yang ukurannya sangat besar dan bergaya eropa. Dindingnya yang kokoh dicat putih, pagarnya yang berwarna hitam dan dirambati tanaman menjulang setinggi dua meter, dan terdapat beberapa orang penjaga yang disebar di beberapa pos yang tugasnya tentu saja menjaga keamanan para penghuni rumah—ehm—maksudnya puri itu. Pendek kata, dilihat dari sudut mana pun rumah—ehm—maksudnya puri itu pasti milik orang berada. Anak kembar itu berjalan ke arah sebuah pos kecil yang ada di dekat gerbang utama yang sangat besar.
“Ehm, selamat pagi,” kata Len pada seorang penjaga berambut pirang yang tengah menulis sesuatu di sebuah buku. Penjaga itu adalah seorang lelaki bertubuh tinggi, namun bisa dibilang cukup kurus, rambut pirangnya terpotong rapi, begitu pula seragam penjaganya yang berwarna abu-abu.
“Ada keperluan apa ke sini?” tanya si penjaga dengan nada yang angkuh
“Kami teman Miku. Dia meminta kami untuk datang ke sini.” kata Len sopan. Sebenarnya hampir semua penjaga puri keluarga Hatsune itu sudah mengenal si kembar Kagamine Rin dan Len. Tapi sepertinya penjaga yang satu ini adalah seorang penjaga baru yang sama sekali belum mengenal teman-teman nona mudanya.
“Nama?” tanya penjaga berambut pirang itu dengan gaya menginterogasi dan masih mempertahankan keangkuhannya
“Hei, jangan sok angkuh ya! Asal kau tahu saja, kami itu sahabat Miku!” seru Rin jengkel
“Saya tidak bisa mengambil resiko,” kata penjaga itu dengan tajam
“Maafkan kembaran saya. Kami—“
“Len? Rin?” tanya sebuah suara yang ramah yang sudah mereka kenal
Si kembar dan penjaga itu langsung menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati seorang pria berbadan tinggi besar sedang berdiri tidak jauh dari si penjaga berambut pirang. Pria itu juga mengenakan seragam penjaga berwarna abu-abu, jadi bisa dipastikan bahwa pria itu juga salah satu dari penjaga Puri Keluarga Hatsune. Rambutnya yang berwarna hitam dimodel seperti Elvis Presley, matanya yang berwarna hitam menatap si kembar Kagamine dan si penjaga berambut pirang dengan bergantian, dan ia mengangkat salah satu dari alis tebalnya.
“Big-Al!” seru Rin
“Anda mengenal anak-anak ini?” tanya si penjaga berambut pirang kebingungan
“Tentu saja, Leon. Mereka kan Kagamine Len dan Kagamine Rin, sahabat-sahabat Nona Miku dan Tuan Mikuo,” jelas penjaga bertubuh kekar yang biasa dipanggil Big-Al itu
“Tuh kan!” Rin menjulurkan lidahnya ke arah penjaga berambut pirang yang bernama Leon.
“Memangnya ada apa?” tanya Big-Al
“Tadi dia tidak mengizinkan aku dan Len masuk!” kata Rin dengan nada penuh kemenangan sambil menunjuk Leon
“Apa itu benar, Leon?” tanya Big-Al tajam
“S-saya…” Leon langsung tergagap dan menghindari tatapan mata seniornya itu
“Sebenarnya dia hanya menanyakan nama kami saja,” sela Len. Big-Al langsung meirik Len.
“Tapi kan…” protes Rin
“Tapi Rin, dia kan memang hanya menanyakan nama kita. Kurasa dia baru bekerja di sini kan?” tebak Len. Leon sedikit mengangguk
“Dari mana kau tahu?” tanya Big-Al
“Karena saya baru melihat wajahnya sekarang dan karena dia sama sekali tidak mengenali saya dan Rin.” jawab Len
“Wah, kau memang pintar, Len.” puji Big-Al
“Ah, tidak juga.”
“Hei, kurasa kita membuat Miku dan Kak Mikuo menunggu!” kata Rin
“Wah, benar juga. Kalau begitu silahkan masuk!” kata Big-Al sebelum dia dan Leon membuka sebelah pintu gerbang super besar itu
“Terima kasih,” kata Len sambil mengangguk pada kedua penjaga itu
“Sama-sama!” Big-Al dan Leon balas mengangguk
“Duh, semoga saja Kaito belum datang!” gumam Rin sambil berlari di pekarangan Puri Keluarga Hatsune yang luas ke arah pintu masuk puri.
.
“Ah, selamat datang, Nona Rin, Tuan Len.” sambut seorang wanita berambut hitam pendek yang mengenakan baju maid. Dia mendorong sebuah troli besi yang diatasnya terdapat sebuah teko keramik, beberapa gelas, dan beberapa potong cake cokelat yang ditaruh di atas piring-piring kecil.
“Halo Prima.” sapa Rin. Maid bernama Prima itu mengangguk sedikit.
“Silahkan ikuti saya. Nona Miku, Tuan Mikuo, dan Tuan Kaito sudah menunggu,” kata Prima sambil mulai mendorong trolinya
“Heee jadi Kaito sudah datang, ya?” tanya Rin pada Prima
“Ya, beliau baru saja datang beberapa menit yang lalu.” jawab Prima. Lalu mereka bertiga pun berjalan di lorong-lorong puri itu.
.
Mereka sampai di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu ek. Prima mengetuk pintu itu beberapa kali seraya berkata, “Nona Miku, Tuan Mikuo, Nona Rin dan Tuan Len sudah sampai,”
“Masuklah,” terdengar jawaban dari dalam. Prima mengangguk sedikit dan membuka pintu itu.
Terlihatlah sebuah ruangan besar. Dindingnya dicat dengan warna tosca yang lembut dan lantainya ditutupi dengan karpet berwarna hijau tua. Dinding-dinding ruangan itu hampir seluruhnya tertutup rak-rak buku yang menjulang tinggi, hanya ada satu dinding yang sama sekali bersih dari rak buku. Karena di dinding itu terdapat sebuah perapian berukuran sedang. Dan di depan perapian itu terdapat sebuah sofa panjang dan dua buah sofa tunggal berwarna hijau terang serta sebuah meja kayu berukuran sedang yang diletakkan di tengah-tengah sofa panjang dan kedua sofa tunggal.
Di sofa tunggal dan sofa panjang itu, duduklah tiga orang yang sudah dikenal Rin dan Len. Sosok pertama yang duduk di sofa tunggal berambut aqua pendek, kemeja putihnya terlihat sangat rapi dibalik vest berwarna biru tua yang dikenakannya, celana panjangnya pun sama sekali tidak terlihat kusut. Sosok kedua yang juga duduk di sofa tunggal memiliki warna rambut yang sama, yakni aqua. Tapi rambut sosok kedua dikucir dua. Dia mengenakan baju terusan berwarna violet dengan renda-renda yang sangat manis ditambah dengan pita-pita di beberapa bagian. Sedangkan sosok ketiga yang duduk di sofa panjang memiliki rambut biru. Dia hanya mengenakan sebuah t-shirt putih berlengan panjang ditambah dengan jaket berwarna biru tua tanpa lengan dan celana jeans warna cokelat tua. Tak lupa sebuah syal panjang berwarna biru muda bertengger nyaman melingkari lehernya.
“Rin! Len! Kalian lama sekali sih!” kata sosok kedua yang tak lain adalah Miku
“Tumben sekali, biasanya Kaito yang suka telat,” tambah sosok pertama yang adalah Mikuo, kakak Miku
“Hahaha benarkah?” tanya sosok ketiga yang adalah Kaito
“Maaf,” kata si kembar bersamaan sebelum berjalan ke arah sofa panjang yang sedang diduduki Kaito.
“Silahkan tehnya, tuan, nona,” kata Prima ramah sambil memindahkan benda-benda yang ada di atas trolinya ke atas meja kayu
“Terima kasih, Prima,” kata Mikuo setelah Prima selesai memindahkan benda-benda di atas trolinya
“Sama-sama, tuan. Apa ada lagi yang Anda butuhkan?” tanya Prima sopan
“Tidak. Kau boleh pergi.” kata Miku
“Baik,” Prima membungkuk, lalu keluar dari ruangan itu sambil mendorong troli besinya meninggalkan tuan dan nonanya bersama ketiga teman mereka.
“Jadi, kita mau lihat-lihat gudang?” tanya Mikuo
“Yeah, mungkin kita bisa menemukan barang bagus!” Kaito mengangguk
“Kebetulan sekali, ayah akan pergi keluar kota sore ini. Mungkin kita bisa ke gudang setelah ayah pergi,” kata Miku
“Memangnya jam berapa ayahmu akan pergi?” tanya Rin
“Ayah tidak bilang.” Miku mengangkat bahunya
“Kalau begitu, sekarang apa yang akan kita lakukan?” tanya Len sambil menatap teman-temannya bergantian
Tiba-tiba pintu ruangan besar itu dibuka, menampakkan lelaki paruh baya berambut hijau tua dan mengenakan setelan rapi. Lelaki itu berjalan ke arah kami.
“Ayah?!” seru Miku dan Mikuo berbarengan
“Mikuo! Ah ternyata ada Kaito, Rin, dan Len,” kata lelaki itu sambil menoleh ke arah ketiga sahabat anak-anaknya
“Ada apa, yah?” tanya Mikuo
“Sepertinya jadwal rapat sedikit dimajukan waktunya, jadi aku harus pergi sekarang.” jawabnya terburu-buru
“Tapi kalau tidak salah ayah kan harus datang ke acara milik bibi Miriam nanti siang.” kata Mikuo
“Soal itu, bilang saja pada Miriam kalau aku tidak bisa datang.” sahut lelaki paruh baya itu dengan senyum terkembang di wajahnya, “Tapi, Mikuo, kau tetap harus datang ke acaranya menggantikanku.” sambungnya
“Baik,” Mikuo mengangguk
“Bagaimana denganku, yah?” tanya Miku
“Kau…” lelaki paruh baya itu melirik Miku, “Tetaplah di rumah dan jangan buat masalah,” katanya tegas
“B-baik…” gumam Miku
“Kalau begitu, ayah pergi dulu.” katanya pada Mikuo dan Miku, “Paman permisi dulu,” tambahnya sambil menoleh pada Kaito, Rin, dan Len. Ketiga remaja itu membalasnya dengan sebuah anggukan kepala singkat.
Setelah lelaki paruh baya itu menutup pintu, kelima remaja yang tengah duduk di sofa itu saling pandang.
“Jadi? Tunggu apa lagi? Ayo!”
.
.
“Ah sial!” umpat Mikuo saat mendapati kunci yang berada di tangannya sama sekali tidak cocok dengan gembok yang dirantai di pintu sebuah gudang besar.
“Kenapa, kak? Kuncinya salah?” tanya Len
“Ya. Sepertinya ayah sudah mengganti gemboknya.” Mikuo menganggukkan kepalanya
“Yaaah…. Jadi gimana nih?” tanya Rin
“Begini saja, aku dan Miku akan mencari kuncinya hari ini. Dan kalian datanglah lagi besok pagi, oke?” jawab Mikuo
“Oke deh.” Kaito menganggukkan kepalanya, diikuti Rin dan Len
“Kalau begitu, ayo pulang, Rin.” ajak Len pada kembarannya
“Ayo!” sahut Rin
“Kami pulang dulu ya, Miku, Kak Mikuo.” Rin dan Len melambaikan tangannya pada kakak beradik berambut aqua yang masih berdiri di depan pintu gudang raksasa itu.
“Kalau begitu, aku juga mau pulang dulu,” kata Kaito sambil sedikit membungkukkan kepalanya
“Ah, iya.” Miku mengangguk.
Lalu Kaito pun meninggalkan Miku dan Mikuo menyusul si kembar Kagamine.
.
.
Jalanan cukup lengang siang itu, membuat si kembar Kagamine tak kesusahan untuk berjalan di sana. Meskipun begitu, mereka berdua sama sekali tidak betah berjalan di jalan yang lengang itu. Satu-satunya yang membuat si kembar Kagamine tidak betah berjalan di siang itu hanyalah suhu yang bisa dibilang cukup tinggi. Orang-orang lebih memilih berteduh di dalam bangunan atau di bawah pohon ketimbang berjalan-jalan tanpa perlindungan dari sinar matahari yang membuat mereka tak henti-hentinya mengucurkan keringat mereka.
Rin mengeluarkan selembar sapu tangan bersulam dari saku celananya dan menyeka keringat yang sudah membasahi dahinya.
“Aduuuh… Panas sekali sih…” keluhnya
“Sabar sedikit, Rin.” kata Len
“Huh… Iya… iya…” gumam Rin sambil terus menyeka keringat yang membasahi wajahnya
Len berbelok ke arah jalan yang dijajari berbagai toko. Mulai dari toko roti, toko daging dan ikan, toko buah dan sayuran, toko perkakas, sampai toko bunga. Lalu kedua remaja berambut pirang itu berhenti di depan sebuah toko buah dan sayuran.
“Kau beli telur dan daging, aku beli buah.” kata Len
“Baiklah,” kata Rin
Setelah itu, Len memasuki toko buah dan sayuran yang terletak di sisi kanan jalan sedangkan Rin berjalan ke toko daging dan ikan yang terletak tepat di seberang toko buah dan sayur yang dimasuki Len.
“Selamat datang!” sapa seorang wanita berambut hijau yang mengenakan sebuah baju terusan sederhana berwarna hijau dan kuning yang dipadukan dengan celemek kecil berwarna putih yang kelihatannya sudah kumal. “Ada yang bisa kubantu?”
“Saya ingin membeli seperempat kilogram jeruk dan apel.” kata Len sopan
“Baiklah, silahkan tunggu sebentar.”
Tak berapa lama kemudian wanita berambut hijau itu mengampiri Len dengan tangan penuh dengan dua kantung yang berisi masing-masing seperempat kilogram jeruk dan apel. “Silahkan,” katanya sambil menyerahkan kedua bungkusan itu pada Len. Len merogoh sakunya sebentar dan mengeluarkan beberapa keping koin perak.
“Terima kasih,” kata Len sambil menyerahkan koin-koin itu
“Sama-sama.” wanita itu tersenyum. Setelah itu Len pun meninggalkan toko itu sambil membawa belanjaannya.
Di luar, ternyata Rin sudah menunggunya. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, mereka berdua langsung berjalan beriringan menuju rumah mereka.
.
.
TO BE CONTINUED
TO CHAPTER II: REFLECTION
.

The Sky

.
Summary: Suatu hari nanti, aku ingin terbang bebas ke langit biru
Disclaimer: Udah pasti punya Masashi Kishimoto dong…
.
Murasaki Sakura Presents:
THE SKY
.
.
Hari itu…
Hari di saat aku dilahirkan ke dunia ini…
Saat itu aku masih belum tahu apa-apa tentang takdir yang harus kujalani,
Tentang sangkar yang harus kutempati
.
Hari itu…
Hari di saat aku menemui pintu takdirku,
pintu menuju jalan takdir yang harus kujalani…
.
Takdirku,
adalah takdir yang tak kuinginkan
takdir yang ingin kutolak
.
Bisakah aku memilih takdirku?
Bisakah aku mengubah takdirku?
.
Takdir ini benar-benar mengurungku
Membuatku tak bisa mencicipi luasnya langit
.
.
Sangkarku,
Benar-benar menyesakkan
Menyesakkan jiwaku yang ingin terbebas
.
Yang bisa kulakukan hanyalah bermimpi dan menatap birunya langit dari balik sangkar ini
.
Begitu biru,
Begitu indah,
Begitu luas,
Begitu murni
.
Mengapa langit itu begitu jauh?
Apakah hanya bisa kugapai dengan mimpiku?
.
Ya,
Karena itulah aku bermimpi,
.
.
Andai aku bisa terbebas dari sangkar ini…
.
Suatu hari nanti, aku ingin terbang bebas ke langit biru
Untuk menyusulmu
Suatu hari nanti, aku ingin terbang bebas ke langit biru
Untuk medapatkan kebebasanku
.
.
Suatu hari nanti, aku ingin terbebas dari sangkar terkutuk ini,
.
Sangkar Takdirku…
.
.
APA-APAAN INIIIIII?!!! HUWAAAAAA GAJE SEKALIIIIII!! MAAFKAN SAKU KALAU SAMA SEKALI GA JELAAAAS!!
.
Ah sudahlah, Saku sendiri bingung mau bilang apa… -__-

11.12.10

Kagami Hikari

Hanya mau bilang, nama account fanfictionku ganti jadi Kagami Hikari.
http://www.fanfiction.net/u/2358299/

Caged Snowflake

.
CAGED SNOWFLAKE
Presented by: Murasaki Sakura
.
Summary: Bolehkah aku tetap berharap untuk sembuh? Tidak, lebih baik aku mati saja. Meskipun dengan begitu artinya aku tidak mungkin bertemu dengan teman-teman lagi. Tapi tidak apa-apa. A birthday fic for Hitsugaya Toshiro!
Disclaimer: Bleach belongs to Tite Kubo
.
My first fic di fandom Bleach sekaligus birthday fic for Hitsugaya Toshiro! Otanjoubi omedetou gozaimasu Shiro-taichoooo! *kicked gara-gara manggil ‘Shiro’
Eeeh?!! Judulnya aneh gitu! Apaan tuh CAGED SNOWFLAKE?! Huweee kenapa susah banget sih cari judul!! >o<
Inspirasinya… hm… mungkin dari bayangan yang selalu muncul waktu Saku dengerin salah satu lagunya KOTOKO yang judulnya Free Angels. Tapi tetep aja akhirnya jadi beda banget sama ide awalnya yang muncul waktu Saku dengerin lagu Free Angels. Mohon maaf kalau agak(baca: sangat) gaje dan aneh. Persembahan buat seluruh Hitsugaya Fans.

.
Seorang perawat berambut hitam tengah berjalan ke arah di lorong rumah sakit yang sepi. Dia tidak berpapasan dengan seorangpun, tidak dengan petugas cleaning service, dokter, maupun para perawat lain. Meskipun begitu, ia sama sekali tidak merasa keberatan. Matanya menatap lurus ke depan dan ia melangkah dengan cukup cepat. Ditangannya terdapat sebuah termometer yang masih tersimpan rapi di tempatnya dan sebuah pulpen serta beberapa lembar kertas yang terjepit di atas sebuah papan dada.
Ia sedang berdiri di depan sebuah kamar pasien bernomer 210. Dengan hati-hati, perawat itu menggeser pintu yang ada di depannya sehingga menampakkan sebuah ruangan yang didominasi dengan warna putih. Perawat itu berjalan pelan-pelan ke arah kasur yang ada di samping satu-satunya jendela besar yang ada di ruangan itu. Tampaklah sosok anak kecil yang tertutup selimut berwarna cokelat, hanya rambut putihnya saja yang sedikit terlihat menyembul.
Perawat itu mengelus rambut putih milik anak itu dengan lembut, berusaha membangunkannya dari tidur dengan cara sehalus dan selembut mungkin. Tak lama kemudian anak kecil itu mulai menggeliat-geliat di balik selimut yang menutupi tubuhnya. “Ohayou, Toshiro-kun,”
Anak lelaki itu menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, kemudian ia pun membuka matanya yang berwarna turquoise. “Ohayou, Suster Nanao,”
.
.
Murasaki Sakura Presents:
CAGED SNOWFLAKE
.
.
“Toshiro, cek suhu tubuh dulu ya?” tanya Suster Nanao
“Aku tidak mau,” sahut Toshiro dingin
“Ayolah, jangan begitu. Ini kan demi kesembuhanmu.” Suster Nanao tetap membujuk Toshiro
“Tidak. Lagipula mau dirawat seperti apapun toh aku tidak akan sembuh.” Toshiro memalingkan wajahnya sebelum menutup matanya kembali
Mendapat respon seperti itu, Suster berkacamata itu hanya mendesah, kemudian beranjak meninggalkan pasien cilik berambut seputih salju itu. Sedangkan pasien cilik bernama Toshiro itu membuka matanya kembali dan menatap langit biru yang tampak dibalik kaca jendela kamarnya.
‘Bolehkah aku tetap berharap untuk sembuh? Aku ingin keluar dari rumah sakit ini…’
Toshiro mendesah.
‘Tidak, lebih baik aku mati saja.’
Anak lelaki yang bernama Hitsugaya Toshiro itu sudah menempati kamar rumah sakitnya sejak ia masih berusia sepuluh tahun. Artinya kalau dihitung-hitung, ia sudah menempati kamar itu selama tiga setengah tahun. Orang tuanya meninggal karena sebuah kecelakaan mobil, dan Toshirolah satu-satunya dari penumpang mobil itu yang berhasil selamat. Sayangnya, ia harus membayarnya dengan kehilangan kedua kakinya yang sempat terjepit badan mobil dan membuat kedua kakinya harus diamputasi. Bagi seorang anak berumur sembilan setengah tahun, kehilangan orang tua serta kedua kakinya amatlah berat. Tapi Toshiro berhasil melalui semua itu. Dan sejak kecelakaan itu, ia harus tinggal di rumah pamannya, Urahara Kisuke.
Toshiro hanya menempati rumah paman tersayangnya selama setengah tahun. Karena setengah tahun setelah kecelakaan itu, penyakit leukemia yang diderita Toshiro semakin parah dan membuatnya harus terus berada di rumah sakit. Urahara yang notabene adalah pengusaha yang selalu disibukkan dengan berbagai dokumen dan setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan langsung menerima keputusan itu. Karena ia sendiri tahu, kalau Toshiro tetap berada di rumahnya, kemungkinan besar penyakit Toshiro akan bertambah parah.
Maka, jadilah Toshiro penghuni kamar nomor 210 di Rumah Sakit Umum Karakura.
Apakah ia kesepian? Jelas, tentu saja ya.
Hal yang diinginkannya adalah bisa keluar dari rumah sakit ini.
Satu-satunya hal yang paling ia senangi ialah menatap langit biru yang tampak di balik kaca jendelanya. Karena baginya, langit yang luas serta awan yang berarak mampu membuatnya terbang ke dunia khayal yang indah selama beberapa saat. Dunia khayal di mana ia bisa bebas dari penyakitnya dan dari rumah sakit.
.
Mentari bersinar hangat di atas Kota Karakura, menyapa setiap nyawa yang ada di bawah naungan sinarnya. Orang-orang mulai sibuk memadati jalan-jalan di kota itu. Angin pagi yang berhembus lembut terus bertiup di luar jendela kamar nomor 210. Toshiro, seperti biasa sedang menatap langit yang cerah dengan mata yang mengantuk. Ia sedang membayangkan dirinya bermain sepak bola dengan teman-teman sebayanya sambil berseru senang serta bersenda gurau. Ia menutup bola mata beriris turquoisenya, mencoba untuk semakin larut ke dalam khayalannya.
Suara ketukan di pintu membuyarkan khayalan indahnya. Dengan sekejap, Toshiro langsung membuka kedua matanya. “Hitsugaya-kun, waktunya pemeriksaan,” kata seseorang di balik pintu. Toshiro hanya mendengus kesal.
Pintu pun terbuka, menampakkan dua orang wanita bertubuh jangkung, yang satu berambut hitam panjang dan yang satu lagi berambut silver. Toshiro mengenali mereka, Dokter Unohana dan Suster Isane.
“Apa kabar, Hitsugaya-kun?” tanya Dokter Unohana ramah
“Biasa saja.” Toshiro menggumam
“Boleh kami cek suhu tubuhmu?” tanya Dokter Unohana lagi, masih selembut dan seramah mungkin
“Huh!” Toshiro hanya memalingkan wajahnya sambil mendengus kesal. Entah kenapa ia tidak bisa menolak permintaan Dokter Unohana, tidak seperti saat ia menolak permintaan Suster Nanao tadi.
“Terimakasih,” Dokter Unohana tersenyum
Kemudian Suster Isane merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah termometer yang berada di dalam sebuah kotak plastik bening. Setelah mengeluarkan termometer itu dari kotaknya, Suster Isane meminta Toshiro membuka mulutnya, lalu dengan mudah menyelipkan termometer ke dalam mulut kecil Toshiro.
“Bagaimana perasaanmu akhir-akhir ini? Apa Urahara-san sering mengunjungimu?” Dokter Unohana mengeluarkan stetoskop dari saku jas labnya. Toshiro hanya menggelengkan kepalanya untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut. Perasaannya akhir-akhir ini memang tidak begitu baik dan pamannya memang tidak sering mengunjunginya.
“Hmm kalau begitu aku akan memeriksamu dulu,” Dokter Unohana lagi-lagi tersenyum. Suster Isane membuka dua kancing teratas dari baju rumah sakit berwarna hijau yang dikenakan Toshiro. Kemudian Dokter Unohana menempelkan bagian bulat stetoskopnya ke dada Toshiro untuk mendengar detak jantung pasiennya.
Setelah beberapa kali menempelkan stetoskopnya di beberapa tempat di dada Toshiro, Dokter Unohana kembali memasukkan stetoskop itu ke saku jas labnya dan Suster Isane kembali mengancingkan baju Toshiro.
“Kondisimu cukup baik. Bagaimana kalau nanti setelah sarapan kau jalan-jalan ke taman?” tawar Dokter Unohana
Toshiro paling membenci kata jalan-jalan. Karena saat para dokter atau suster bekata seperti itu, artinya ia harus duduk di kursi roda yang sangat dia benci, lalu membiarkan seseorang mendorong kursi rodanya menuju taman yang ada di dalam rumah sakit. Ia benci menggunakan kursi roda. Karena setiap orang normal yang berpapasan dengannya pasti akan menatapnya dengan tatapan merendahkan atau dengan tatapan aneh. Dan menurut Toshiro, kursi roda selalu membuatnya terlihat lemah. Cukuplah orang-orang mengatakannya lemah karena ukuran tubuhnya yang terbilang mungil untuk ukuran teman sebayanya. Karena hal itulah Toshiro hampir tidak pernah pergi berjalan-jalan menggunakan kursi rodanya—kecuali kalau benar-benar dipaksa, dan pasti ia akan mengerutkan keningnya dan menekuk bibirnya ke bawah.
Karena tak mendapat jawaban, Dokter Unohana mengangguk dan berkata, “Itu kuanggap sebagai ya.”
Sedangkan Toshiro hanya mengerutkan keningnya mendengar pernyataan dokter muda berambut kepang itu. Ia berharap Dokter Unohana cepat-cepat menyelesaikan pemeriksaannya, karena dengan begitu ia bisa kembali terlarut dalam mimpinya.
“Permisi, waktunya sarapan Hitsugaya-kun.” kata suara ramah penuh semangat dari seorang suster berambut pirang yang mendorong sebuah troli yang berisi beberapa nampan makanan. Mata abu-abu muda milik suster itu sedikit membulat ketika menatap Dokter Unohana. “Ah, maafkan saya, Dokter Unohana! Saya tidak tahu Anda sedang memeriksa Hitsugaya-kun!” tubuhnya sedikit membungkuk. “Anda datang sangat awal pagi ini!” kata suster itu masih dengan tubuh yang membungkuk
“Tidak masalah, Rangiku. Saya juga sudah selesai.” sahut Dokter Unohana. “Kalau begitu, kami duluan ya, Hitsugaya-kun. Jangan lupa, habiskan sarapanmu, ya!” kata Dokter Unohana setelah menoleh ke arah Toshiro. Toshiro tidak membalas pernyataan dokter itu.
Dokter Unohana dan Suster Isane baru saja melewati ambang pintu ketika Dokter Unohana menghentikan langkahnya dan mengatakan sesuatu pada suster berambut pirang bernama Matsumoto Rangiku, “Oh ya, Rangiku, tadi Toshiro bilang ia ingin berjalan-jalan ke taman setelah sarapan.” kata dokter berkepang satu itu dengan ringan. Mendengarnya, Toshiro langsung mendelik ke arah dokter muda itu.
“Benarkah? Wah, itu bagus sekali!” Suster Matsumoto terdengar sedikit antusias. Dokter Unohana hanya mengangguk sambil tersenyum sebelum meninggalkan mereka berdua.
Setelah Dokter Unohana dan Suster Isane pergi, Suster Matsumoto menggeser meja plastik beroda ke arah tempat tidur Toshiro. Lalu menekan tombol yang berada di dekat tangan Toshiro sehingga setengah dari kasur Toshiro mulai terangkat, membuat posisi Toshiro yang semula tidur menjadi duduk. Setelah itu suster bertubuh tinggi itu menaruh sepiring roti bakar, semangkuk sup jagung, segelas susu, dan sebutir telur rebus yang menjadi menu sarapan pagi itu. Toshiro hanya menatap makanan yang ada di hadapannya dengan malas.
“Baiklah, Hitsugaya-kun, kalau nanti saat aku kembali kau belum menghabiskan setengah dari makanan ini, maka aku akan menyuapimu!” Suster Matsumoto meletakkan telunjuknya di depan wajah Toshiro untuk menekankan kata-katanya.
Salah satu hal lain yang dibenci Toshiro selain jalan-jalan adalah disuapi. Karena menurutnya, disuapi makin membuatnya terlihat seperti anak kecil yang lemah dan tidak berdaya. Dan terlihat seperti anak kecil yang tidak berdaya juga termasuk ke dalam daftar hal-hal yang dia benci.
“Terserah,” gumam Toshiro
“Bagus. Kalau begitu, aku pergi dulu. Pastikan makananmu sudah tinggal setengah saat aku kembali!” kata Suster Matsumoto puas sebelum meninggalkan kamar Toshiro sambil mendorong troli makanannya.
Toshiro tidak berniat untuk menghabiskan sarapannya, jadi ia menurunkan kembali posisi tempat tidurnya. Entah kenapa pagi ini kelopak matanya benar-benar terasa berat. Pasien berambut salju itu perlahan menutup matanya dan menghela nafas. Dan beberapa menit kemudian, ia pun sudah terbang ke alam mimpinya.
Kuharap aku bisa cepat keluar dari rumah sakit ini…
.
*Toshiro’s POV*
Aku tidak bisa melihat apapun di sekelilingku—semuanya hitam pekat. Tapi, anehnya aku masih bisa melihat kedua tanganku dengan jelas, juga kesepuluh jari-jari tanganku, dan kedua kakiku yang telanjang—A-apa?! Kaki?! Itu kakiku?! Tidak mungkin!
Aku masih menatap kakiku dengan tatapan tidak percaya saat sebuah lantunan lagu menggelitik gendang telingaku. Berbagai pertanyaan muncul begitu saja di benakku dan tentunya membuatku semakin penasaran, siapa yang menyenandungkan lagu itu? Aku masih berdiri mematung, mendengarkan nada-nada yang dapat terdengar oleh kedua telingaku. Tapi tiba-tiba saja lagu itu menghilang. Aku sedikit terkejut, tapi tetap mencoba untuk menajamkan pendengaranku. Sayangnya hasilnya sama saja, aku tidak dapat mendengar suara apapun.
Entah mengapa diriku tiba-tiba disergap ketakutan. Tubuhku menggigil dan bulu kudukku meremang. Kurasakan jari-jari tanganku semakin dingin dan kudengar bisikan-bisikan lirih yang semakin membuatku merinding ngeri. Begitu kusadari, aku sudah terduduk dengan lutut yang terlipat merapat pada dadaku. Kedua tanganku merangkul lututku yang masih gemetaran dan kubenamkan kepalaku. Tak ada suara maupun cahaya dan itu membuatku benar-benar ketakutan.
Tiba-tiba saja terbersit kenangan burukku saat mengalami kecelakaan tiga tahun yang lalu. Saat seluruh pandanganku menjadi hitam, saat hanya bau asap yang dapat kucium, saat hanya rintih kesakitan yang dapat kudengar, saat kulihat tubuh ayah dan ibu bersimbah darah tak bernyawa. Kenangan yang paling tak ingin kuingat kini sedang bermunculan dalam benakku. Ingin rasanya kuusir mereka semua dan kuganti dengan kenangan-kenangan indah yang kupunya. Tapi mengapa di saat seperti ini kenangan indahku seperti menguap begitu saja? Hilang tak berbekas dari benakku.
Tak terasa, setetes air mata mengalir di pipiku. Lalu disusul tetes-tetes air mata lain. Aku pun menangis tanpa suara.
Senandung melodi lirih itu kembali membelai lapisan timpaniku, membuatku menegadahkan kepalaku dengan refleks. Ya, aku dapat mendengar suara itu lagi. Kali ini, tanpa membuang-buang waktu, kuayunkan kedua kakiku dengan cepat menuju ke sumber suara.
Setelah berlari beberapa saat, akhirnya kutemukan sosok berbalut kain putih yang berdiri membelakangiku. Mungkin sedikit aneh, aku dapat melihat sosok itu dengan jelas meskipun tak ada cahaya sama sekali. Ah, sepertinya justru sosok itulah yang memancarkan cahaya remang-remang dari tubuhnya yang berbalut kain putih bersih. Tapi, tunggu, apakah dua benda lembut berwarna senada dengan kain yang menutupi sosoknya itu adalah sayap?
Tanpa aba-aba, sosok itu menoleh ke arahku, mulutnya terbuka, menyuarakan nada-nada lirih yang merdu. Ternyata dia adalah seorang perempuan! Rambutnya hitam legam, sangat kontras dengan pakaian dan sayapnya. Mata violetnya menatapku dengan pandangan menusuk. Dan tubuhnya mungil, hampir seukuran denganku.
Dia membalikkan tubuhnya menjadi menghadap padaku, lalu mengulurkan tangan kanannya. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum hangat. Entah mengapa, aku merasa seperti sudah mengenalnya cukup lama.
Ayo, Toshiro!
Sebuah suara merdu mengalun di benakku. Apakah itu suaranya?
Gadis bermata violet itu menganggukkan kepalanya.
Ayo!
Entah karena dorongan apa, kakiku melangkah mendekat dan semakin mendekat padanya. Sedikit demi sedikit tanganku terulur untuk menyambut tangannya.
Sedikit lagi!
Lagi-lagi suara gadis itu terdengar menyemangatiku. Ya, tinggal sedikit lagi, bisikku dalam hati. Aku terus melangkah sambil mengulurkan tangan kananku padanya. Seiring langkahku yang mendekat padanya, senyum yang terukir di bibirnya semakin mengembang.
Dan, ya! Akhirnya aku berhasil mencapainya! Kini, tanganku menggenggam tangannya. Di luar dugaanku, tangannya dingin sekali.
Seketika itu juga, pandangan di sekitarku berubah menjadi sebuah padang bunga yang dinaungi oleh langit biru cerah yang sangat luas. Meskipun sedikit terdapat kabut keemasan, tapi aku masih dapat melihat warna-warna cantik yang berasal dari mahkota bunga dari berbagai ukuran. Dapat kurasakan matahari yang menyinari dengan sinarnya yang hangat, menggelitik jutaan sel saraf ruffini yang berada di balik kulitku. Aroma bunga yang samar-samar menyapa sel-sel olfaktori di hidungku. Burung-burung berkicau dari kejauhan, membuat suasana menjadi lebih tentram. Dan semilir angin yang berbisik lembut menyejukkan. Ah, benar-benar nyaman.
Gadis berpakaian putih itu menggamit tanganku yang masih berada di dalam genggamannya. Dia memintaku untuk mengikuti langkahnya. Tanpa ragu, kulangkahkan kakiku mengikuti setiap langkahnya yang ringan.
Ia membawaku ke sebuah sungai yang cukup lebar, namun tidak terlalu dalam. Airnya sangat jernih, aku dapat melihat batuan berwarna cokelat muda dan hitam yang berada di dasarnya. Terkadang, dapat kulihat juga riak air yang ditimbulkan ikan-ikan kecil yang berenang kesana kemari. Gadis itu berjongkok di tepi sungai itu, lalu membenamkan kedua tangannya ke sana. Aku hanya memerhatikannya, tanpa mengikuti tindakannya. Setelah beberapa saat bermain-main di air, dia menatapku, lalu kembali berdiri.
Maaf.
Katanya sambil mengeringkan kedua tangannya yang basah oleh air sungai.
“Tidak masalah.” sahutku
Lihatlah!
Gadis itu menunjuk ke arah sungai. Aku hanya mengangkat sebelah alisku. Setelah beberapa saat, aku berjongkok di dekatnya, lalu menatap permukaan air yang jernih. Benar-benar indah.
Kau tahu, Toshiro… Kau mungkin merindukan teman-temanmu.
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung. Kudapati ia telah berjongkok di sebelahku sambil menatap permukaan air. Kuikuti arah pandangnya. Dan betapa anehnya, samar-samar aku dapat melihat refleksi dari wajah teman-temanku. Karin, Jinta, Ururu, Hinamori, semuanya. Tapi saat aku semakin menatap refleksi wajah mereka, refleksi wajah mereka semakin menghilang.
Hmm kurasa kau harus mengucapkan selamat tinggal pada mereka, Toshiro.
“Selamat tinggal?”
Gadis itu mengangguk mendengar pertanyaanku. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke permukaan sungai. Ah, kali ini aku dapat melihat wajah Dokter Unohana dan Suster Isane. Wajah mereka terlihat panik. Aku juga dapat melihat Dokter Kurosaki, dokter yang pernah beberapa kali memeriksaku. Tapi, lagi-lagi refleksi itu semakin kabur dan akhirnya menghilang ditelan riak air.
Kau tidak akan pernah bertemu mereka lagi, Toshiro…
*End of Toshiro’s POV*
.
Di sebuah kamar rumah sakit, seorang suster berambut pirang bernama Matsumoto Rangiku sedang berjalan gelisah menunggu seorang dokter yang beberapa menit lalu ia panggil. Iris abu-abu mudanya menatap tubuh kecil yang tergolek tak berdaya di atas sebuah kasur. Matsumoto berjalan menghampiri kasur itu, mencoba menatap lebih dekat tubuh yang berada di sana. Kelopak matanya menutup dan dadanya tidak terlihat turun naik—sebuah fakta yang begitu ditakuti Matsumoto akan terjadi pada pasien cilik yang berada di depannya. Matsumoto membelai lembut kening anak lelaki berambut putih itu, berharap anak lelaki itu akan langsung terbangun. Tapi nyatanya tidak, pasien cilik bernama lengkap Hitsugaya Toshiro itu tetap memejamkan kedua matanya.
“Matsumoto-san, ada apa?” sebuah suara mengagetkan Suster Matsumoto
“Dokter Kurosaki! Hitsugaya-kun…” Suster Matsumoto tidak melanjutkan kalimatnya
“Apa yang terjadi?!” tanya dokter berambut orange itu
“Saya… Saya tidak tahu. Beberapa menit yang lalu saya mengantarkan makanan untuk Hitsugaya-kun—saat itu ia sedang diperiksa oleh Dokter Unohana. Kemudian saya meninggalkannya dan saat saya kembali, saya pikir ia sedang tidur, karena Hitsugaya-kun memang sering sekali tidak menghabiskan sarapannya dan malah tidur.” suster berambut pirang itu menatap Toshiro, “Tapi saat saya coba untuk membangunkannya, ia tidak juga bangun-bangun. Lalu saya jadi panik dan memanggil Anda, karena setahu saya Dokter Unohana sedang memeriksa pasien yang lain.” ia mengakhiri ceritanya
“Apa dia sempat minum obat?” tanya Dokter Kurosaki sambil mendengarkan detak jantung Toshiro sudah tak terdengar dari stetoskopnya
“Saya rasa tidak. Biasanya saya memberikan obatnya setengah jam setelah membereskan sarapan Hitsugaya-kun.” jelas Suster Matsumoto
“Tolong panggilkan Dokter Unohana,” dokter muda itu berkata dengan cepat
“Baik,” Suster Matsumoto mengangguk, kemudian berlari keluar dari kamar untuk memanggil dokter berambut kepang satu itu.
.
“Ada apa, Dokter Kurosaki?” Dokter Unohana muncul di ambang pintu bersama dengan Suster Matsumoto dan Suster Isane
“Saya tidak tahu harus melakukan apa lagi.” kata Dokter Kurosaki setelah membalikkan badan menghadap ke Dokter Unohana. “Dia sudah tidak tertolong lagi,” dokter muda itu menggelengkan kepalanya yang tertutup rambut orange jabrik.
Ketiga wanita itu terkesiap mendengar kabar yang terlontar dari mulut sang dokter bermata hazel. Dokter Unohana berjalan ke arah sang pasien yang sudah tak bernyawa sambil mengeluarkan stetoskopnya. Lalu ia berusaha mendengarkan detak jantung anak lelaki itu. Ketiga pasang mata lainnya menatap punggung dokter wanita berambut kepang satu itu.
“Dokter Kurosaki benar,” akhirnya Dokter Unohana berkata setelah menggeleng lemah. Ia mengantongi kembali stetoskopnya. “Isane, tolong kau hubungi kerabatnya,”
“Baik,” Suster Isane mengangguk
.
*Toshiro’s POV*
Seperti yang tadi kukatakan, kau tak akan bertemu dengan mereka lagi.
Gadis itu menepuk bahuku sambil tersenyum.
Apa ini artinya aku sudah mati? Yah, kurasa tak apa. Aku memang ingin pergi keluar dari rumah sakit dan ingin kembali berjalan dengan menggunakan kakiku. Meskipun dengan begitu artinya aku tidak mungkin bertemu dengan teman-teman lagi. Tapi tidak apa-apa.
“Siapa kau?”
Kau bisa memanggilku Rukia. Aku malaikat kematian.
“Malaikat kematian ya… Hmm…”
Ayo kita temui orang tuamu, Toshiro…
.
.
OWARI
.
Ending yang sumpah ga enak banget! Ceritanya pun ga jelas dan aneh. Heee ngomong-ngomong kok ceritanya jadi gini sih? Aneh… Padahal awalnya bukan gini loh! Awalnya tuh Toshiro sakit, terus ngeliat malaikat di mimpinya, terus ditolongin sama malaikatnya sampai Toshiro bisa sembuh dari penyakitnya. Tapi kok malah jadi gini ya? Aaah gomen ne… Lagian awalnya yang jadi malaikatnya tuh Hinamori. Tapi kok malah jadi Rukia ya? Entahlah… Saku sendiri bingung -__-

Oh iya, rencananya, fic ini mau dipublish waktu tanggal 20 Desember 2010 (waktu ultahnya Hitsugaya Toshiro)

16.11.10

You Are My Love

You are My Love

Summary: 9 tahun setelah cerita P3. Semua orang memliki jalan hidup yang harus ditempuhnya masing-masing, begitu pula kau dan aku. The story about The Girl at The Shrine, Maiko, the Hangedman Arcana.
Discalimer: Kalau P3 punya Saku, Saku bakalan bikin Minato hidup lagi deh…

.
.
9 tahun berlalu setelah aku bertemu dengannya dan juga berpisah dengannya
Sejak saat itu hidupku berubah
2 tahun berlalu setelah kepulanganku ke sini
Dimanakah dirimu,
Minato-san?
.
.
.
Halo semuanya! Namaku Maiko. Umurku 16 tahun dan sekarang duduk di bangku SMA di Iwatodai, tepatnya Gekkoukan High School, kelas 1-D. Aku kembali ke Iwatodai 2 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SMP. Sebenarnya akulah yang memaksa mama agar segera kembali ke Iwatodai dan berbaikan dengan papa. Aku tahu kemungkinan mama dan papa berbaikan akan sangat kecil, tapi setidaknya aku harus kembali ke Iwatodai.
Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku sangat ingin kembali ke Iwatodai, jawabannya adalah Kak Minato. Kak Minato adalah orang yang dulu sering bermain bersamaku. Meskipun sedikit pendiam, Kak Minato sangat baik padaku. Dia sering mentraktirku takoyaki, main bersamaku, menemaniku, dan bahkan membantuku saat aku berencana kabur dari papa dan mama dulu. Mungkin Kak Minato sekarang sudah lulus kuliah, karena dulu saat aku pertama bertemu dengannya dia sudah duduk di bangku SMA.
Tapi sejak hari pertama kepindahanku ke Iwatodai, Kak Minato tak kunjung kutemukan. Tapi aku tidak menyerah! Hampir setiap hari aku mencarinya, namun menemui hasil yang sama. Kemanakah dirimu, Kak Minato?


Aku sedang mecoret-coret buku catatan matematikaku saat bel berbunyi. Aku menghela nafas dan menutup buku matematikaku dengan malas. Setelah guru matematika keluar dari kelas, seorang gadis berambut hijau tua dan seorang gadis berambut biru muda bernama Michi dan Runa langsung menghampiri mejaku.
“Hei, katanya kita dapat guru sejarah baru loh!” Runa berkata dengan semangat
“Iya! Kata anak-anak 1-A sih cakep banget!” Michi menimpali, “Udah gitu masih muda lagi!”
“Kau sudah pernah melihatnya?” tanya Runa padaku
“Boro-boro. Aku baru tau kok kita bakal dapat guru baru.” kataku malas.
Aku memang malas ngomongin tentang cowo-cowo di sekolahku ini—termasuk gurunya juga. Habis menurutku tidak ada yang bisa menandingi Kak Minato. Yah… setidaknya BELUM, dan aku harap tidak ada.
“Ah, kau sama sekali tidak asik! Masa kau sama sekali tidak tertarik?” tanya Michi dengan suara yang sengaja dibuat kecewa
“Maaf, tapi aku memang tidak tertarik.” jawabku sambil mengambil buku mata pelajaran selanjutnya sekaligus pelajaran terakhir, sejarah.
“Mai-chaaaan…. Kau ini aneh! Masa sih tidak ada cowo di sekolah ini yang kau bilang ganteng?” tanya Runa
“Tidak ada tuh.” jawabku santai
“Pasti karena cowo yang waktu itu kau ceritakan kan? Siapa namanya? Um… Mi..Mi…” ejek Michi
“Minato. Namanya Kak Minato.” potongku ketus
“Tapi itu kan udah 9 tahun yang lalu. Aku yakin si Minato itu udah punya pacar,” kata Michi enteng
“Tidak mungkin! Kak Minato kan sudah janji padaku!”
Runa sepertinya akan mengatakan sesuatu, tapi tersela oleh suara pintu geser yang terbuka. Kami bertiga refleks langsung melempar pandang kami ke pintu. Aku sedikit terkesiap.
Seorang pemuda dengan rambut berwarna cokelat muda masuk ke kelasku. Dia menggunakan vest rajutan berwarna hitam dan kemeja putih polos berlengan pendek juga celana hitam berbahan katun. Dia tidak mengenakan dasi dan rambut cokelatnya terlihat sedikit acak-acakan. Pemuda yang kelihatannya tidak berumur lebih tua dari 30 tahun itu melangkah dengan santai sambil membawa beberapa buku sejarah di tangan kirinya. Dia berjalan ke meja guru dan menyimpan buku-bukunya di sana. Setelah itu dia berjalan kembali ke depan kelas dan sedikit merapikan kerah bajunya. Mata cokelatnya menatap kami dengan tatapan yang tegas, menyiratkan bahwa dibalik wajahnya yang terlihat masih sangat muda itu, terdapat otak yang cemerlang.
“Selamat siang. Saya Amada Ken, guru sejarah kalian yang baru. Mulai hari ini sampai tiga bulan ke depan sayalah yang akan menjadi guru sejarah kalian.” katanya
“Oh iya, maaf ya tadi saya datang sedikit terlambat. Saya masih belum hafal jadwal mengajar saya.” tambahnya dengan senyum
“Amada-sensei umurnya berapa?” celetuk salah seorang siswi di kelasku
“Sebenarnya saya tidak punya kewajiban untuk mejawab pertanyaan itu, tapi karena ini hari pertama kita semua bertemu di kelas, maka saya akan menjawabnya. Umur saya 26 tahun.” jawabnya
Terdengar cekikikan dari belakangku. Karena penasaran, kutengok ke belakang dan mendapati temanku Sayo dan Mitsuki sedang cekikikan. Kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas dan kudapati hampir semua siswi di kelasku cekikikan atau hanya senyum-senyum. Aku menatap mereka heran, tapi lalu kualihkan pandanganku ke guru sejarah baruku, Amada-sensei. Amada-sensei hanya tersenyum sekilas. Dia berjalan ke meja guru dan mengambil salah satu buku.
“Saya ingin tahu, bab berapa yang terakhir kalian pelajari?” tanyanya
“Bab 7,” jawab ketua kelasku
“Hmm… Kalau begitu kita adakan kuis untuk menguji pemahaman kalian tentang bab 7. Silahkan keluarkan kertas selembar,” kata Amada-sensei sambil membolak-balik halaman buku yang dipengangnya
“Aaah… Malas…” kudengar Michi menggumam dari bangku di serong depanku
“Kukira kita bisa santai sedikit karena dapat guru baru… Ternyata…” Sayo dibelakangku mengeluh
Aku hanya mengangkat bahu dan mengeluarkan selembar kertas seperti yang diperintahkan sensei. Menurutku sih kuis ini sama sekali tidak menjadi masalah besar, karena satu, pelajaran kesukaanku adalah sejarah; dan dua, toh materi bab 7 tidak terlalu sulit buatku. Kukerjakan soal yang didiktekan Amada-sensei dengan cepat. Lalu mengumpulkannya. Kulihat Amada-sensei sedang menulis sesuatu di sebuah kertas dengan sebuah pulpen berwarna merah marun.
“Wah, cepat sekali. Sepertinya kau tidak menemui kesulitan sedikitpun ya?” dengan cepat Amada-sensei mendongak ke arahku
“Ya. Kurasa materi bab 7 itu cukup mudah,” jawabku pelan
“Hahaha kau benar. Siapa namamu?”
“Maiko,” jawabku singkat sebelum kembali ke bangkuku
Aku duduk di bangkuku dan mengeluarkan sebuah buku. Kuambil pensil mekanik dan memainkannya di tanganku sambil memandangi salah satu halaman di buku itu. Saat aku hendak menggoreskan pensil mekanikku, tiba-tiba saja Yuzu, teman sebangkuku menyikutku.
“Apa?” tanyaku
“Kau tadi ngobrol apa dengan Amada-sensei?” tanya Yuzu balik
“Ga kok. Tadi dia cuma tanya namaku.” jawabku singkat
“Lalu?”
“Aku kembali ke sini. Emangnya kenapa sih?”
“Hee… Ga apa-apa kok. Aku cuma iri aja sama kamu, Mai-chan.” kata Yuzu
“Iri?” tanyaku sambil menatap mata hitamnya
“Kau bisa langsung ngobrol dengan Amada-sensei. Huuuh… aku juga mau…” katanya sambil mengerucutkan bibirnya. Aku hanya tertawa cekikikan melihat wajahnya.
“Hahahaha kau kan bisa ajak Amada-sensei ngobrol saat jam pelajarannya selesai.” saranku
“Benar juga ya!” bisiknya dengan mata berbinar, “Thanks buat sarannya ya, Mai-chan!” sambungnya
Aku hanya tersenyum menganggapi kata-katanya, lalu mencoret-coret buku yang ada di mejaku dengan gambar-gambar.
.
Dua puluh menit kemudian, Amada-sensei meminta kami mengumpulkan kertas kami. Muncullah berbagai reaksi, ada yang tersenyum dipaksakan, ada yang cemberut, ada yang ekspresinya biasa saja, ada yang tersenyum kecil, sampai ada yang terlihat hampir menangis. Aku tidak ambil pusing dengan pemandangan itu dan melanjutkan gambarku. Setelah kami semua kembali ke bangku kami masing-masing, Amada-sensei berjalan ke depan kelas.
“Nah, sekarang sebelum memulai pelajaran saya ingin mengetahui nama kalian masing-masing. Ya, silahkan perkenalkan diri kalian mulai dari sini.” katanya sambil menunjuk bangku Michi.
“Namaku Tominaga Michi,”
“Aku Asou Rai,”
“Saya Nakajima Hitsugi,”
Dan seterusnya sampai giliranku,
“Aku Reihatsu Maiko,”
“Nama saya Tsumugi Hiro,”
“Saya Takigawa Rie,”
Dan seterusnya sampai murid terakhir. Setelah kami selesai memperkenalkan diri kami, Amada-sensei hanya mengangguk-angguk, lalu berkata, “Baiklah. Kalau begitu kita mulai pelajaran hari ini.”
.
.
Pelajaran sejarah hari ini sungguh menyenangkan. Materinya mengasyikkan dan cara mengajar Amada-sensei sama sekali tidak membuat kami bosan.
TING TONG
Bel pun berbunyi. Menandakan jam pelajaran telah berakhir.
“Baiklah, sampai di sini dulu pelajaran kali ini,” kata Amada-sensei, ”Jangan lupa, saya akan mengadakan pre-test minggu depan. Jadi belajarlah.” sambungnya sambil tersenyum kecil. Dapat kudengar erangan malas dari teman-temanku. Tapi sensei sama sekali tidak memedulikannya dan segera keluar dari kelas kami sambil membawa buku-bukunya, kertas jawaban kuis kami, dan beberapa alat tulisnya.
Tak berapa lama setelah Amada-sensei keluar dari kelas kami, wali kelas kami, Yamagishi-sensei, masuk ke kelas. Beberapa menit kemudian kami sudah keluar dari kelas kami dan berjalan ke berbagai arah. Ada yang ke klub olahraga, atau ke klub-klub yang lain, ke perpustakaan, juga ke Student Council, dan ada juga yang langsung pulang.
Hari ini aku tidak pulang bersama dengan Michi dan Runa, karena mereka ada kegiatan klub. Jadi hari ini aku pulang sendiri. Saat aku berjalan di depan kelas 1-B, aku melihat sebuah pulpen berwarna merah marun. Karena penasaran, aku mengambilnya dan membolak-baliknya. Aku menemukan inisial A.K di sana dengan warna emas. ‘Rasanya aku pernah lihat pulpen ini. Dimana ya?’ tanyaku dalam hati.
Aku terus memikirkannya sambil menggenggam pulpen merah marun itu. Tiba-tiba aku teringat,
‘Oh iya! Tadi Amada-sensei memakai pulpen seperti ini. Mungkin ini miliknya.’ aku mengangguk-angguk kecil. ‘Amada Ken, ya… Inisialnya pun A.K,’ pikirku lagi. Dengan segera, aku berjalan ke Faculty Office untuk mengembalikan pulpen milik Amada-sensei yang ada di genggamanku.
Setelah sampai di ruang Faculty Office, aku segera membuka pintunya dan mencari sosok Amada-sensei. Tiba-tiba kurasakan seseorang menepuk pundakku. Saat aku menoleh, kulihat Yamagishi-sensei.
“Ada apa, Maiko-chan?” tanya wali kelasku ini dengan suara lembut
“Umm… Aku mencari Amada-sensei.”
“Ken-kun? Tunggu sebentar ya, ah itu dia. Ken-kun!” panggil wali kelasku
“Fuuka-san? Ada apa?” tanya Amada-sensei
“Ini, ada yang mencarimu.” kata Yamagishi-sensei sambil menepuk punggungku ringan
“Kau… Maiko?” tanyanya ragu. Aku mengangguk.
“Kalau begitu aku duluan,” pamit Yamagishi-sensei sambil menganggukkan kepalanya dan berlalu. Tapi sebelum Yamagishi-sensei beranjak jauh, Amada-sensei memanggilnya, “Fuuka-san!”
“Ada apa Ken-kun?” Yamagishi-sensei berbalik
“Tentang acara hari minggu nanti, siapa saja yang akan ikut?” tanya Amada-sensei
“Semuanya,” jawab Yamagishi-sensei dengan senyum, “Tentu saja kecuali dia…” tiba-tiba wajahnya berubah sendu
“Jangan lupa datang, Ken-kun. Kurasa semuanya merindukanmu,” tambahnya sebelum melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
“Pasti,” janji Amada-sensei. Lalu Amada-sensei mengalihkan pandangannya kepadaku,
“Ada apa?” tanyanya
“Ano… Ini milik Anda?” tanyaku sambil menyodorkan pulpen merah marun yang kutemukan di koridor
“Wah! Dimana kau menemukannya? Aku memang mencari-cari pulpen ini. Arigatou gozaimasu.” katanya sambil menyunggingkan senyum hangatnya padaku dan mengambil pulpen itu dari tangaku
“Di depan kelas 1-B.” jawabku singkat
“Tapi bagaimana kau tahu ini milikku?” tanya sensei
“Saya melihat Amada-sensei menulis dengan menggunakan pulpen ini saat saya mengumpulkan kertas jawaban saya.”
“Begitu… Kau pengamat yang jeli.” pujinya
“A-arigatou gozaimasu,” kataku. ”Ngomong-ngomong, apa saya boleh bertanya?” tanyaku ragu
“Tentu,”
“Apa Anda dan Yamagishi-sensei saling mengenal?”
“Ya. Dulu kami satu asrama. Ya… satu-satunya asrama di Iwatodai yang dimiliki oleh Kirijo Group.” jawabnya
Aku terkesiap. Asrama yang dimiliki Kirijo Group? Dulu kan Kak Minato pernah bilang kalau dia tinggal di sana bersama dengan teman-temannya! Berarti pasti Yamagishi-sensei dan Amada-sensei mengenal Kak Minato!
“Ano… Apa saya boleh bertanya lagi?”
“Ya, ada apa?”
“A-apa di asrama itu ada yang bernama Minato?” tanyaku gugup
Tiba-tiba senyum di wajah Amada-sensei langsung menghilang dan matanya sedikit terbelalak. “Ya,” jawabnya parau. “Kau kenal Minato-san?” tanya Amada-sensei dengan kaget. Aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
”Anda juga kenal dengan Kak Minato? Kalau begitu pasti Anda tahu dimana Kak Minato!” kataku bersemangat
“Lebih baik kita bicarakan di tempai lain saja,” katanya dengan suara yang cukup pelan. Kulihat di sekelilingku. Hampir semua guru yang ada di ruangan ini menatap kami. Aku mulai gugup, dan dengan cepat berjalan keluar dari Faculty Office, mengikuti Amada-sensei.
.
Beberapa saat kemudian, kami sudah sampai di Paulownia Mall. Kupandangi sosok Amada-sensei dari belakang. Dari caranya melangkah, rasanya Amada-sensei belum akan berhenti. ”Kita mau kemana, sensei?” tanyaku bingung. Amada-sensei tidak menjawabku
Kami sampai di Chagall Café. Lalu masuk dan mengambil tempat duduk. Aku mencoba memperhatikan raut wajah Amada-sensei yang duduk di depanku. Tapi cukup sulit karena kepalanya yang ditundukkan, membuat wajahnya sedikit tertutup dengan rambut cokelat terangnya. Namun dapat kupastikan wajahnya muram, tidak seperti tadi.
Seorang pelayan menghampiri kami, “Pesan apa, nona, tuan?” tanya pelayan itu ramah
“Saya pesan Black Coffee dan—kau mau apa?” tanya Amada-sensei
“Eeh, saya Milk Tea saja,” kataku gugup
“Baik, ada lagi?” tanya pelayan itu ramah
“Tidak,” jawab Amada-sensei singkat. Pelayan tersebut terseyum dan meninggalkan kami
“Jadi?”
“Kau juga kenal dengan Minato-san, ya?” tanya Amada-sensei. Aku mengangguk.
“Apa yang dia katakan padamu?”
“Eeeh… Kak Minato tidak banyak bicara, tapi dulu dia sering bermain dengan saya dan mentraktir saya,” jawabku jujur
“Apa Minato-san mengatakan sesuatu tentang persona?” tanyanya serius
“Per—apa? Rasanya tidak.” jawabku sambil mengingat-ingat
“Persona,”
“Saya rasa tidak. Seperti yang saya bilang, Kak Minato jarang sekali bercerita tentang dirinya sendiri. Kak Minato hanya bilang bahwa dia tinggal di sebuah asrama yang dimiliki oleh Kirijo Group di Iwatodai, dan tinggal di sana bersama teman-temannya dan seekor anjing.” jelasku panjang lebar
“Begitu…” kata Amada-sensei. Entah kenapa, kurasa Amada-sensei sedikit lega mendengar penuturanku tadi
“Silahkan, Milk Tea dan Black Coffeenya,” pelayan tadi muncul dengan membawa nampan berisi secangkir Milk Tea dan secangkir Black Coffee. Lalu dia menaruh kedua cangkir itu di meja kami
“Arigatou,” kataku dengan senyum. Pelayan itu balas tersenyum dan melangkah pergi membawa nampan kosong.
“Amada-sensei, tolong katakan dimana Kak Minato sekarang?” tanyaku serius. Kutatap mata cokelatnya lekat-lekat
“Minato-san… sudah meninggal 8 tahun yang lalu…” jawabnya sambil menundukkan kepalanya lagi
“B-bohong! Tidak bungkin! Kak Minato belum mati!” kataku marah
“Tapi Minato-san memang sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan 8 tahun yang lalu,” tiba-tiba Amada-sensei mengangkat wajahnya lagi dan menatap mataku
“T-tapi…”
Amada-sensei terus menatapku
“K-kalau Kak M-minato mati…” air mata mulai bergulir di pipiku, “A-aku tidak m-mau Kak M-minato m-mati…” kataku terisak. Aku mulai menangis. Kudengar orang-orang di sekitarku mulai berbisik-bisik, tapi aku tidak peduli. Aku masih belum percaya Kak Minato sudah meninggal.
Amada-sensei menepuk kepalaku dan menyodorkanku Milk tea yang tadi kupesan, “Lebih baik diminum dulu,” sarannya. Kuambil cangkir itu dari tangannya dan mulai minum sedikit demi sedikit.
“Sudah enakan?” tanyanya. Aku mengangguk walaupun masih sedikit terisak
“Kalau kau tidak percaya, aku bisa membawamu ke tempatnya sekarang.” Amada-sensei menyodorkan sapu tangannya. “Kau mau kita ke sana?” tanyanya lembut
Aku mengangguk, “Ya,”
.
Lalu kami berdua keluar dari Chagall Café dan kubiarkan Amada-sensei menyetop sebuah taksi. Di dalam taksi, aku menceritakan tentang pertemuan pertamaku dengan Kak Minato serta pengalamanku bersamanya, juga tentangku yang memberikan hadiah kenangan padanya 9 tahun yang lalu sebelum aku pindah. Amada-sensei tidak mengatakan apa-apa, dia hanya mendengarkan ceritaku dengan seksama.
Akhirnya, kami sampai di sebuah pekuburan. Lalu kami masuk dan kubiarkan Amada-sensei membimbingku berjalan diantara batu-batu nisan. Tidak lama kemudian kami menemukan apa yang kami cari, batu nisan milik Kak Minato.
.
Here Lies Our Beloved Friend,
Arisato Minato
1992-2010
.
Begitu melihat batu nisan itu, aku menangis tersedu-sedu. Amada-sensei berdiri di belakangku, membiarkanku menyandarkan diriku padanya. Dia menepuk bahuku, menghiburku. Tapi tetap saja rasanya sedih. Sulit untuk memercayai bahwa orang yang kau cintai telah meninggal 8 tahun yang lalu.
Aku tidak tahu berapa lama aku menangis. Yang kutahu aku menangis di dalam pelukan Amada-sensei. Akhirnya aku berhenti menangis dan mencoba menenagkan diriku. Amada-sensei masih menepuk punggungku, “Tenanglah,” bisiknya lembut
Setelah merasa lebih baik, kulepaskan diriku dari pelukannya dan mundur beberapa langkah. Kubalikkan tubuhku untuk menatap batu nisan itu.
“Kak Minato…”
Kupejamkan mataku dan berdoa untuknya. Lalu kubuka kembali mataku. Kutatap batu nisan itu dalam keheningan. Angin berhembus, menggoyangkan dedaunan dan semak-belukar, membuatnya bergemerisik. Kutengadahkan kepalaku ke arah langit yang kini berwarna jingga.
.
“Sudah sore, bukankah sudah saatnya bagimu untuk pulang?” tanya Amada-sensei. Aku menoleh ke arahnya dan mengangguk
“Ya,”
“Ayo!” ajaknya. Kuhampiri Amada-sensei dan berjalan di belakangnya.
.
Aku menoleh ke arah batu nisan itu,

‘Good bye, my love… No matter what happened, you’re still my love…’
.
.
~OWARI~
.
Waaaaaah…. Akhirnya fic ini selesai jugaa… *long sigh* bener-bener deh… tadinya ceritanya ga kaya gini, tapi tiba-tiba ada ide buat bikin yang jalan ceritanya kaya gini. Ya udah, Saku ketik aja. Tapi endingnya ga enak ya? -_- Yah.. setidaknya Saku rasa gitu. Maaf banget kalau fic ini kacau balau bin ngaco bin gaje.