26.12.10

Behind the Mirror 1

.
Summary: Apa kau tahu apa yang ada di balik cermin? Ketika kau tahu, bisakah kau mengingkarinya? CHAPTER I: INTRODUCTION: …kami hanyalah anak-anak biasa yang berharap bisa mengubah diri kami…
Disclaimer: Vocaloid belongs to Yamaha Corp.
.
BEHIND THE MIRROR
.
.
Aku ingin menjadi lebih kuat!
Aku ingin menjadi lebih hebat!
Aku ingin bisa melindungi orang-orang yang kusayangi!
Aku ingin dunia melihatku!
.
Murasaki Sakura Presents:
BEHIND THE MIRROR
CHAPTER I: INTRODUCTION
kami hanyalah anak-anak biasa yang berharap bisa mengubah diri kami
.
Angin berhembus lembut membuat daun bergemerisik sekaligus membawa berbagai aroma yang nikmat. Aroma embun, aroma roti panggang, aroma sabun, dan aroma telur. Seorang gadis remaja berambut pirang tengah asik memainkan telur-telur di atas sebuah wajan dengan spatula kayu. Gadis itu menyenandungkan lagu riang sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Seiring dengan goyangan kepalanya, rambut pirangnya yang dikucir tinggi di samping pun ikut bergoyang.
“Ima ugoki hajimeta kasokusuru kiseki… Nanana nananana tomaranai… Nanananana,” gadis itu menyenandungkan lagunya
“Pagi, Neru,” sapa sebuah suara malas yang sukses membuat gadis pirang berkucir satu itu sedikit terlonjak
“Len! Lagi-lagi kau mengagetkanku!” gadis pirang bernama Neru itu berkata pada sepupu laki-lakinya yang bernama Len. Sedangkan, si lawan bicara hanya menggaruk-garuk rambut jabriknya yang berwarna pirang dengan malas.
“Rin belum bangun?” tanya Len yang masih setengah tertidur
“Belum.” Neru menggeleng
“Hmmm…” Kemudian dengan langkah malas, Len beranjak ke kamar mandi untuk mencuci mukanya.
Tapi, baru juga akan memutar knop pintu, seseorang sudah membukanya dari sisi lain. Setelah pintu terbuka sepenuhnya, Len dapat melihat seorang gadis remaja seumurannya sedang tersenyum ke arahnya. Rambut gadis itu pirang, sama dengannya. Matanya pun sebiru sapphire, sama dengannya. Ya, itu adalah kembaran Len, Rin. Yang membedakan mereka berdua hanyalah gender dan gaya rambut mereka. Rambut Len jabrik tapi dikucir di bagian belakang, sementara rambut Rin pendek sebahu dan selalu dihiasi bando putih berpita yang telah menjadi ciri khasnya.
“Pagi, Len!” sapa Rin dengan senyum terkembang di wajahnya
“Pagi, Rin…” balas Len malas
“Tadi kudengar ada yang memasak di dapur. Kupikir itu kau.” kata Rin santai
“Hn? Bukan. Yang masak itu Neru…” sahut Len sambil mengucek matanya yang terasa berat
Mereka berdua terdiam. Lalu tiba-tiba tersentak.
“NERU!” seru mereka bersamaan sebelum melesat ke dapur.
Sedangkan gadis yang dimaksud masih asik dengan nyanyian—ehm—maksudnya telur orak-ariknya. “Sono hitomi no naka nanana nanana… Kore ga watashi no nozonda kokoro… Lalalala…” sekarang suara si pirang berkucir satu itu sudah semakin keras. Dia pun sepertinya semakin terhanyut ke dalam lagu yang dinyanyikannya dan semakin melupakan telur orak-arik yang sudah mulai menghitam di wajannya.
“NERU!” seru si kembar Kagamine. Si pemilik nama pun sontak melemparkan wajan yang ada di tangannya ke sembarang arah dan membuat telur orak-arik gosong yang berada di atasnya ikut terlempar dan berhamburan kemana-mana.
“Aaaaah!” seru Len
“Neruuuuu… Itu kan telur terakhir kita!” geram Rin
“H-hei! Ini kan salah kalian! Siapa suruh kalian mengagetkan aku?” seru Neru. Rin menunjuk serpihan telur orak-arik yang mendarat di dekat kakinya.
“Meskipun kau tidak melemparkan wajanmu, kami tetap tidak akan bisa makan telur orak-arik pagi ini! Bahkan telurnya gosong!” kata Rin dengan nada menuduh
 “Aku kan hanya mencoba membantu Len… Tadi kulihat dia masih tidur dengan nyenyak. Kurasa Len kecapekan karena kemarin membantu Dell membereskan kebunnya,” kata Neru dengan suara kecil
“Sudah berapa kali kubilang sih? Yang masak itu cukup Len saja! Aku tidak mau sakit perut karena makananmu!” sahut Rin dengan pedas
“Sudahlah, toh kita masih punya roti, kan?” lerai Len sambil menepuk pundak Rin
“Huh!” Rin membalikkan badannya dan berjalan ke kamarnya meninggalkan Neru dan Len yang hanya menatap punggung gadis berbando itu
“Maaf ya, Neru. Aku tahu maksudmu baik, tapi biar aku saja yang memasak.” Len tersenyum pada Neru
“Iya… Tapi kan…”
“Kau bisa membantuku untuk pekerjaan yang lain,” potong Len cepat. Mendengarnya, Neru hanya mengangguk.
“Nah, sekarang, bisa tolong bersihkan telur-telur ini? Aku mau mengganti piyamaku dulu.” pinta Len. Neru mengangguk sekali lagi dan beranjak mengambil sapu.
.
.
Beberapa menit kemudian, Len turun dari kamarnya dan berjalan menuju dapur dengan baju sehari-harinya, sebuah kemeja putih berlengan panjang dilipat sampai siku dan celana hitam selutut ditambah dengan ikat pinggang berwarna kuning serta suspender berwarna hitam. Rambut jabriknya sekarang sudah diikat rapi seperti biasanya dan wajahnya sudah terlihat lebih segar.
Sesampainya di dapur, Len langsung bisa mendengar suara Neru yang sedang bersenandung dan suara sapu yang bergesekan dengan lantai kayu. Len mengambil beberapa lembar roti, lalu memasukkan dua diantaranya ke mesin pemanggang roti. Lalu mengambil sebuah mug berwarna cokelat dengan motif garis-garis dan berjalan menghampiri kulkas. Setelah itu, dia mengambil sebotol susu dingin dari kulkas dan menuangkannya ke mug garis-garisnya.
TING!
Terdengar suara ‘ting’ dari mesin pemanggang roti. Len langsung mengambil roti yang ada di mesin itu dan menggantinya dengan roti yang lain. Lalu dia membuka lemari yang berisi piring dan mengeluarkan sebuah piring yang berukuran cukup besar, kemudian meletakkan roti yang sudah dipanggang di atas piring itu. Sambil menunggu roti selesai dipanggang, Len duduk di kursi dan meminum susu dinginnya.
“Neru,” panggil Len
“Ya?” sahut Neru tanpa menghentikan gerakan sapunya
“Kak Luka bilang hari ini kau harus datang ke toko bunganya.” kata Len
“Hee? Ada apa memangnya?” Neru menghentikan gerakan sapunya dan menatap Len
“Tidak tahu. Katanya sih membicarakan tentang Gumi. Memang Gumi itu siapa?” tanya Len
“Oh!” Neru menjentikkan jarinya. Len hanya menatap sepupunya dengan tatapan bingung
“Itu, Gumi keponakannya pemilik toko buah yang ada di dekat toko bunganya Luka.” terang Neru
“Oooh yang rambutnya hijau itu?” tanya Len lagi
“Iya,” Neru mengangguk sebelum kembali menyapu
“Memangnya si Gumi itu kenapa?” tanya Rin yang tiba-tiba sudah berada di belakang Len
“Rin!” seru Neru kaget
“Apa?” sahut Rin. Neru menggeleng
“Jadi, si Gumi itu kenapa?” ulang Rin
“Minggu depan dia ulang tahun, jadi aku, Luka, dan Teto mau memberinya kado.” jelas Neru
“Jadi kalian mau diskusi, ya?” tanya Len
“Yah, bisa dibilang begitu.” Neru mengangguk
TING!
Sekali lagi suara ‘ting’ terdengar dari mesin pemanggang roti, dan sekali lagi juga Len mengambil roti yang telah dipanggang dan menukarnya dengan roti yang belum dipanggang. Len kembali menyimpan roti yang sudah dipanggang itu di atas piring tadi. Rin sudah duduk di sebelah kursi yang tadi didudukinya, sedangkan Neru baru saja menyimpan sapunya di dekat kulkas dan akan mengambil tempat duduk di depan Rin. Len segera duduk kembali di kursinya dan menopangkan dagunya ke tangannya.
“Sepertinya hari ini aku harus belanja bahan makanan,” kata Len
“Setuju!” seru Rin sambil mengacungkan tangannya, “Nanti aku ikut ya?” imbuh gadis berbando itu
“Memang kalian tidak ada acara?” tanya Neru. Si kembar menggeleng berbarengan
“Bukannya kalian ada janji dengan Nona Miku?” tanya Neru
“Oh iya! Lupa!” seru Rin sambil menepuk dahinya yang tertutup poni
“Terima kasih sudah mengingatkan. Ngomong-ngomong kamu tahu dari mana?”
“Kemarin aku bertemu dengan Kaito di perpustakaan. Dia bilang kalian ada janji dengan Nona Miku, jadi lebih baik aku mengingatkan kalian supaya kalian tidak lupa. Tapi ternyata aku juga lupa mengingatkan kalian kemarin,” jawab Neru
“Sudahlah, tapi kau kan tetap mengingatkan kami. Terima kasih ya, Neru.” kata Len
“Ah, iya, sama-sama,” kata Neru sambil tersenyum pada si kembar.
TING!
Untuk ketiga kalinya, suara ‘ting’ dari mesin pemanggang roti kembali terdengar. Dan untuk ketiga kalinya juga Len mengambil roti-roti itu dan menaruhnya di atas piring yang sudah berisi empat buah roti panggang. Tapi kali ini Len tidak meletakkan roti lagi di mesin pemanggang roti, ternyata enam lembar roti sudah cukup untuk mereka bertiga.
Len membawa piring yang penuh dengan roti panggang itu ke atas meja makan. Dengan cepat Rin berdiri dan berjalan ke meja dapur mereka untuk mengambil sebotol madu, sebotol selai cokelat, dan pengoles roti. Setelah menaruh madu, selai cokelat, dan pengoles roti di atas meja, Rin mengambil sebuah mug berwarna orange dengan motif spiral berwarna kuning. Lalu diambilnya susu dari kulkas, dan dituangkannya ke dalam mung bermotif spiralnya. Setelah mugnya penuh, Rin menaruh mugnya di meja makan dan duduk di kursinya. Mereka bertiga pun memakan sarapan mereka sambil mengobrol dan sesekali bercanda.
.
.
Rin dan Len sedang berjalan ke arah sebuah puri yang ukurannya sangat besar dan bergaya eropa. Dindingnya yang kokoh dicat putih, pagarnya yang berwarna hitam dan dirambati tanaman menjulang setinggi dua meter, dan terdapat beberapa orang penjaga yang disebar di beberapa pos yang tugasnya tentu saja menjaga keamanan para penghuni rumah—ehm—maksudnya puri itu. Pendek kata, dilihat dari sudut mana pun rumah—ehm—maksudnya puri itu pasti milik orang berada. Anak kembar itu berjalan ke arah sebuah pos kecil yang ada di dekat gerbang utama yang sangat besar.
“Ehm, selamat pagi,” kata Len pada seorang penjaga berambut pirang yang tengah menulis sesuatu di sebuah buku. Penjaga itu adalah seorang lelaki bertubuh tinggi, namun bisa dibilang cukup kurus, rambut pirangnya terpotong rapi, begitu pula seragam penjaganya yang berwarna abu-abu.
“Ada keperluan apa ke sini?” tanya si penjaga dengan nada yang angkuh
“Kami teman Miku. Dia meminta kami untuk datang ke sini.” kata Len sopan. Sebenarnya hampir semua penjaga puri keluarga Hatsune itu sudah mengenal si kembar Kagamine Rin dan Len. Tapi sepertinya penjaga yang satu ini adalah seorang penjaga baru yang sama sekali belum mengenal teman-teman nona mudanya.
“Nama?” tanya penjaga berambut pirang itu dengan gaya menginterogasi dan masih mempertahankan keangkuhannya
“Hei, jangan sok angkuh ya! Asal kau tahu saja, kami itu sahabat Miku!” seru Rin jengkel
“Saya tidak bisa mengambil resiko,” kata penjaga itu dengan tajam
“Maafkan kembaran saya. Kami—“
“Len? Rin?” tanya sebuah suara yang ramah yang sudah mereka kenal
Si kembar dan penjaga itu langsung menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati seorang pria berbadan tinggi besar sedang berdiri tidak jauh dari si penjaga berambut pirang. Pria itu juga mengenakan seragam penjaga berwarna abu-abu, jadi bisa dipastikan bahwa pria itu juga salah satu dari penjaga Puri Keluarga Hatsune. Rambutnya yang berwarna hitam dimodel seperti Elvis Presley, matanya yang berwarna hitam menatap si kembar Kagamine dan si penjaga berambut pirang dengan bergantian, dan ia mengangkat salah satu dari alis tebalnya.
“Big-Al!” seru Rin
“Anda mengenal anak-anak ini?” tanya si penjaga berambut pirang kebingungan
“Tentu saja, Leon. Mereka kan Kagamine Len dan Kagamine Rin, sahabat-sahabat Nona Miku dan Tuan Mikuo,” jelas penjaga bertubuh kekar yang biasa dipanggil Big-Al itu
“Tuh kan!” Rin menjulurkan lidahnya ke arah penjaga berambut pirang yang bernama Leon.
“Memangnya ada apa?” tanya Big-Al
“Tadi dia tidak mengizinkan aku dan Len masuk!” kata Rin dengan nada penuh kemenangan sambil menunjuk Leon
“Apa itu benar, Leon?” tanya Big-Al tajam
“S-saya…” Leon langsung tergagap dan menghindari tatapan mata seniornya itu
“Sebenarnya dia hanya menanyakan nama kami saja,” sela Len. Big-Al langsung meirik Len.
“Tapi kan…” protes Rin
“Tapi Rin, dia kan memang hanya menanyakan nama kita. Kurasa dia baru bekerja di sini kan?” tebak Len. Leon sedikit mengangguk
“Dari mana kau tahu?” tanya Big-Al
“Karena saya baru melihat wajahnya sekarang dan karena dia sama sekali tidak mengenali saya dan Rin.” jawab Len
“Wah, kau memang pintar, Len.” puji Big-Al
“Ah, tidak juga.”
“Hei, kurasa kita membuat Miku dan Kak Mikuo menunggu!” kata Rin
“Wah, benar juga. Kalau begitu silahkan masuk!” kata Big-Al sebelum dia dan Leon membuka sebelah pintu gerbang super besar itu
“Terima kasih,” kata Len sambil mengangguk pada kedua penjaga itu
“Sama-sama!” Big-Al dan Leon balas mengangguk
“Duh, semoga saja Kaito belum datang!” gumam Rin sambil berlari di pekarangan Puri Keluarga Hatsune yang luas ke arah pintu masuk puri.
.
“Ah, selamat datang, Nona Rin, Tuan Len.” sambut seorang wanita berambut hitam pendek yang mengenakan baju maid. Dia mendorong sebuah troli besi yang diatasnya terdapat sebuah teko keramik, beberapa gelas, dan beberapa potong cake cokelat yang ditaruh di atas piring-piring kecil.
“Halo Prima.” sapa Rin. Maid bernama Prima itu mengangguk sedikit.
“Silahkan ikuti saya. Nona Miku, Tuan Mikuo, dan Tuan Kaito sudah menunggu,” kata Prima sambil mulai mendorong trolinya
“Heee jadi Kaito sudah datang, ya?” tanya Rin pada Prima
“Ya, beliau baru saja datang beberapa menit yang lalu.” jawab Prima. Lalu mereka bertiga pun berjalan di lorong-lorong puri itu.
.
Mereka sampai di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu ek. Prima mengetuk pintu itu beberapa kali seraya berkata, “Nona Miku, Tuan Mikuo, Nona Rin dan Tuan Len sudah sampai,”
“Masuklah,” terdengar jawaban dari dalam. Prima mengangguk sedikit dan membuka pintu itu.
Terlihatlah sebuah ruangan besar. Dindingnya dicat dengan warna tosca yang lembut dan lantainya ditutupi dengan karpet berwarna hijau tua. Dinding-dinding ruangan itu hampir seluruhnya tertutup rak-rak buku yang menjulang tinggi, hanya ada satu dinding yang sama sekali bersih dari rak buku. Karena di dinding itu terdapat sebuah perapian berukuran sedang. Dan di depan perapian itu terdapat sebuah sofa panjang dan dua buah sofa tunggal berwarna hijau terang serta sebuah meja kayu berukuran sedang yang diletakkan di tengah-tengah sofa panjang dan kedua sofa tunggal.
Di sofa tunggal dan sofa panjang itu, duduklah tiga orang yang sudah dikenal Rin dan Len. Sosok pertama yang duduk di sofa tunggal berambut aqua pendek, kemeja putihnya terlihat sangat rapi dibalik vest berwarna biru tua yang dikenakannya, celana panjangnya pun sama sekali tidak terlihat kusut. Sosok kedua yang juga duduk di sofa tunggal memiliki warna rambut yang sama, yakni aqua. Tapi rambut sosok kedua dikucir dua. Dia mengenakan baju terusan berwarna violet dengan renda-renda yang sangat manis ditambah dengan pita-pita di beberapa bagian. Sedangkan sosok ketiga yang duduk di sofa panjang memiliki rambut biru. Dia hanya mengenakan sebuah t-shirt putih berlengan panjang ditambah dengan jaket berwarna biru tua tanpa lengan dan celana jeans warna cokelat tua. Tak lupa sebuah syal panjang berwarna biru muda bertengger nyaman melingkari lehernya.
“Rin! Len! Kalian lama sekali sih!” kata sosok kedua yang tak lain adalah Miku
“Tumben sekali, biasanya Kaito yang suka telat,” tambah sosok pertama yang adalah Mikuo, kakak Miku
“Hahaha benarkah?” tanya sosok ketiga yang adalah Kaito
“Maaf,” kata si kembar bersamaan sebelum berjalan ke arah sofa panjang yang sedang diduduki Kaito.
“Silahkan tehnya, tuan, nona,” kata Prima ramah sambil memindahkan benda-benda yang ada di atas trolinya ke atas meja kayu
“Terima kasih, Prima,” kata Mikuo setelah Prima selesai memindahkan benda-benda di atas trolinya
“Sama-sama, tuan. Apa ada lagi yang Anda butuhkan?” tanya Prima sopan
“Tidak. Kau boleh pergi.” kata Miku
“Baik,” Prima membungkuk, lalu keluar dari ruangan itu sambil mendorong troli besinya meninggalkan tuan dan nonanya bersama ketiga teman mereka.
“Jadi, kita mau lihat-lihat gudang?” tanya Mikuo
“Yeah, mungkin kita bisa menemukan barang bagus!” Kaito mengangguk
“Kebetulan sekali, ayah akan pergi keluar kota sore ini. Mungkin kita bisa ke gudang setelah ayah pergi,” kata Miku
“Memangnya jam berapa ayahmu akan pergi?” tanya Rin
“Ayah tidak bilang.” Miku mengangkat bahunya
“Kalau begitu, sekarang apa yang akan kita lakukan?” tanya Len sambil menatap teman-temannya bergantian
Tiba-tiba pintu ruangan besar itu dibuka, menampakkan lelaki paruh baya berambut hijau tua dan mengenakan setelan rapi. Lelaki itu berjalan ke arah kami.
“Ayah?!” seru Miku dan Mikuo berbarengan
“Mikuo! Ah ternyata ada Kaito, Rin, dan Len,” kata lelaki itu sambil menoleh ke arah ketiga sahabat anak-anaknya
“Ada apa, yah?” tanya Mikuo
“Sepertinya jadwal rapat sedikit dimajukan waktunya, jadi aku harus pergi sekarang.” jawabnya terburu-buru
“Tapi kalau tidak salah ayah kan harus datang ke acara milik bibi Miriam nanti siang.” kata Mikuo
“Soal itu, bilang saja pada Miriam kalau aku tidak bisa datang.” sahut lelaki paruh baya itu dengan senyum terkembang di wajahnya, “Tapi, Mikuo, kau tetap harus datang ke acaranya menggantikanku.” sambungnya
“Baik,” Mikuo mengangguk
“Bagaimana denganku, yah?” tanya Miku
“Kau…” lelaki paruh baya itu melirik Miku, “Tetaplah di rumah dan jangan buat masalah,” katanya tegas
“B-baik…” gumam Miku
“Kalau begitu, ayah pergi dulu.” katanya pada Mikuo dan Miku, “Paman permisi dulu,” tambahnya sambil menoleh pada Kaito, Rin, dan Len. Ketiga remaja itu membalasnya dengan sebuah anggukan kepala singkat.
Setelah lelaki paruh baya itu menutup pintu, kelima remaja yang tengah duduk di sofa itu saling pandang.
“Jadi? Tunggu apa lagi? Ayo!”
.
.
“Ah sial!” umpat Mikuo saat mendapati kunci yang berada di tangannya sama sekali tidak cocok dengan gembok yang dirantai di pintu sebuah gudang besar.
“Kenapa, kak? Kuncinya salah?” tanya Len
“Ya. Sepertinya ayah sudah mengganti gemboknya.” Mikuo menganggukkan kepalanya
“Yaaah…. Jadi gimana nih?” tanya Rin
“Begini saja, aku dan Miku akan mencari kuncinya hari ini. Dan kalian datanglah lagi besok pagi, oke?” jawab Mikuo
“Oke deh.” Kaito menganggukkan kepalanya, diikuti Rin dan Len
“Kalau begitu, ayo pulang, Rin.” ajak Len pada kembarannya
“Ayo!” sahut Rin
“Kami pulang dulu ya, Miku, Kak Mikuo.” Rin dan Len melambaikan tangannya pada kakak beradik berambut aqua yang masih berdiri di depan pintu gudang raksasa itu.
“Kalau begitu, aku juga mau pulang dulu,” kata Kaito sambil sedikit membungkukkan kepalanya
“Ah, iya.” Miku mengangguk.
Lalu Kaito pun meninggalkan Miku dan Mikuo menyusul si kembar Kagamine.
.
.
Jalanan cukup lengang siang itu, membuat si kembar Kagamine tak kesusahan untuk berjalan di sana. Meskipun begitu, mereka berdua sama sekali tidak betah berjalan di jalan yang lengang itu. Satu-satunya yang membuat si kembar Kagamine tidak betah berjalan di siang itu hanyalah suhu yang bisa dibilang cukup tinggi. Orang-orang lebih memilih berteduh di dalam bangunan atau di bawah pohon ketimbang berjalan-jalan tanpa perlindungan dari sinar matahari yang membuat mereka tak henti-hentinya mengucurkan keringat mereka.
Rin mengeluarkan selembar sapu tangan bersulam dari saku celananya dan menyeka keringat yang sudah membasahi dahinya.
“Aduuuh… Panas sekali sih…” keluhnya
“Sabar sedikit, Rin.” kata Len
“Huh… Iya… iya…” gumam Rin sambil terus menyeka keringat yang membasahi wajahnya
Len berbelok ke arah jalan yang dijajari berbagai toko. Mulai dari toko roti, toko daging dan ikan, toko buah dan sayuran, toko perkakas, sampai toko bunga. Lalu kedua remaja berambut pirang itu berhenti di depan sebuah toko buah dan sayuran.
“Kau beli telur dan daging, aku beli buah.” kata Len
“Baiklah,” kata Rin
Setelah itu, Len memasuki toko buah dan sayuran yang terletak di sisi kanan jalan sedangkan Rin berjalan ke toko daging dan ikan yang terletak tepat di seberang toko buah dan sayur yang dimasuki Len.
“Selamat datang!” sapa seorang wanita berambut hijau yang mengenakan sebuah baju terusan sederhana berwarna hijau dan kuning yang dipadukan dengan celemek kecil berwarna putih yang kelihatannya sudah kumal. “Ada yang bisa kubantu?”
“Saya ingin membeli seperempat kilogram jeruk dan apel.” kata Len sopan
“Baiklah, silahkan tunggu sebentar.”
Tak berapa lama kemudian wanita berambut hijau itu mengampiri Len dengan tangan penuh dengan dua kantung yang berisi masing-masing seperempat kilogram jeruk dan apel. “Silahkan,” katanya sambil menyerahkan kedua bungkusan itu pada Len. Len merogoh sakunya sebentar dan mengeluarkan beberapa keping koin perak.
“Terima kasih,” kata Len sambil menyerahkan koin-koin itu
“Sama-sama.” wanita itu tersenyum. Setelah itu Len pun meninggalkan toko itu sambil membawa belanjaannya.
Di luar, ternyata Rin sudah menunggunya. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, mereka berdua langsung berjalan beriringan menuju rumah mereka.
.
.
TO BE CONTINUED
TO CHAPTER II: REFLECTION
.

No comments:

Post a Comment